Selasa, 24 Mei 2011

i, tourist.

im afraid when my mind said its about time to go home. But i know, its not my time. Not now, not here, not like this.


If im falter, or crumble, let me mumble, between the rumble.

Selasa, 29 Maret 2011

today.

It doesn't need genie to make your wish come true. It came true already when im at stake. Either that im hoping to be someone that's more bold and braver than you, or just as a cold hearted person that trying too supress its unstable emotion, i can't drop any tears when i got your news. Im shocked, and trembling.
Some way, you're the one who can bring the magic tod this foul city, the one who gave me light. It's silly when someone is trying too hard to redeem it self from being loveable.
I laugh hard, i love and i hate hard. But now, im simply being numb. My heart probably as promiscuous as an untamed bitch before, but when i feel great, in balance and try work on this situation, there's always some catch that can ruin it all. Im trying my best to love you, the way we love each other. Not yours or mine. Simply ours.
But today, i cry hard.

Minggu, 06 Maret 2011

TEA # Chapter 1

01

Beep…beep…beep…
‘Waktu telah menunjukkan pukul 11.45 WIB.’
Okay. Lima belas menit lagi waktunya makan siang, dan disini hanya ada aku, seorang perawan ting-ting yang masih sibuk dengan berbagai tumpukan assignment di depan mata, sambil mengigit kecil-kecil biskuit Regal di tangan.
Gosh, bisa nggak sih aku setidaknya makan siang secara baik dan benar dengan menu-menu yang mengandung unsur 4 sehat, tapi gak harus 5 sempurna dalam seminggu ini. Di kantin, warung, restoran, dimana saja. Dan tidak hanya mengunyah biskuit ini setiap harinya. Bukannya aku malas memesan makan siangku lewat delivery service, nitip makanan sama teman kantor, atau membuat sarapan waktu pagi buta. Tapi setidaknya aku bisa bersosialisasi, ngobrol-ngobrol dan nge-gosip mengenai apapun dengan teman kerjaku pas makan siang.
Fashion, perhiasan, musik, film, artis, tempat hang-out terbaru, event mingguan.
Cowok!
Walaupun aku sadar kalau aku sama sekali tidak ahli di bidang ‘itu’, tapi setidaknya ada topik pembicaraan selain pekerjaan selama aku di kantor. Presentasi ini, presentasi itu, tabel-tabel, diagram, creative brief, prime prospect, rapat, formula-formula, hasil survey konsumen, klien, daftar budget, sketsa, komprehensif, de el el. Kalaupun ketemu dengan teman-teman kantor, palingan pas jam pulang, atau diluar jam kantor.
Ngomong-ngomong soal cowok, kadang-kadang aku berpikir untuk settle down. Punya anak, masak, nunggu suami pulang kantor, nyari resep masakan di majalah, belanja bulanan buat keluarga, ngegosip bareng ibu-ibu arisan RT. Tipikal ibu-ibu yang bersuami lah. Tapi apa daya. Belum ada pangeran sejati, berkuda putih bersih bak mutiara, melawan setiap monster-monster assignmentku di siang hari, menjemput aku sore harinya, dan memadu kasih dari malam hingga pagi menjelang. Yang ada, aku sampai sekarang masih mengurus ibu dan pamanku.
Jangan salah, teman-teman dekatku di kantor sering memanas-manasi aku untuk, setidaknya, memiliki pacar. Ada beberapa cowok yang mendekati aku sih, tapi kebanyakan cowok-cowok kutu buku. Mungkin aku punya getaran khusus yang mampu menarik para kutu buku tersebut, walaupun sebenarnya mereka memang baik padaku. Selain itu, sudah banyak juga cowok yang dicomblangi ke aku. Aku sih nggak terlalu ‘picky’, tapi yang ada malah sering salah sasaran, nggak ada yang klop. Ada yang narsis, ego-sentris, terlalu suka dandan, pikirannya sex mulu, cerewet, childish, terlalu kaku, kurang romantis, over acting, pemalu, penggugup dan sebagainya. Pokoknya nyaris semua tipe cowok yang acak kadut sudah dikenalkan ke aku.
Pernah sekali aku ketemu sama cowok yang baik banget, seorang gentleman sejati. Pas ngejemput-pun dia yang membukakan pintu mobil dan mempersilakan aku duduk dahulu sesampainya di restoran. Benar-benar seorang gentleman. Aku sempat pakai deg-degan segala. Tapi pas selesai nge-date, nggak tahu gara-gara topik pembicaraan apa, yang ada dia malah curhat ke aku. Sidik punya sidik, ternyata dia gay yang lagi bingung netapin pilihan. Straight, biseks or completely gay. Yang ada aku semalaman bingung nyari cara buat nenangin dia sesunggukan di mobilnya. Lha, terus gimana nasibku ini. Besoknya aku jadi uring-uringan di kantor.
Bukannya aku tidak menarik yah, tapi memang pada kenyataannya aku tuh orangnya biasa banget. Secara fisik aku itu amat sangat standar. Badanku tidak terlalu tinggi, kurang lebih 157 cm, dengan berat badan ideal. Tipikal orang Jawa kraton katanya. Tubuhku, secara proporsi pas dan semuanya pada ukuran serta panjang yang sesuai. Jadi lenganku tidak terlalu panjang kayak monyet, leherku tidak terlalu panjang kayak jerapah, perutku nggak buncit kayak kuda nil dan kakiku juga nggak sejenjang kaki burung unta. Terlepas dari ukuran pinggulku yang ‘lumayan’ besar. Dan mukaku-pun katanya lumayan menarik kalau tersenyum.
Yang jadi masalahku selama ini, tak lain tak bukan ada pada mahkota yang merupakan salah satu kebanggaan para wanita di seluruh jagad. Yap, apalagi kalau bukan rambutku. Dengan rambut yang super-duper-amat-sangat tebal, kaku nan lebat, sangat sulit untuk membuatnya tampak indah setiap saat. Sudah segala model rambut aku coba (selain botak, jabrik serta model-model rambut aneh lainnya), tapi semuanya gagal. Rebonding aja nggak kuat. Malahan rambutku jadi kering dan rusak. Memang kalau sehabis aku keramas, rambutku bisa jatuh turun tergerai dengan manisnya, tapi coba saja tunggu sampai agak siangan, rambutku bisa megar kesana-kemari kayak singa. Secara visual, rambutku mirip rambutnya karakter telenovela Betty Lafea, lengkap dengan atribut kacamatanya. Ugly Betty yang notabene Amerikanisasi dari telenovela itu aja lebih waras. Walaupun dandananku tidak separah dia, tapi cukup merusak penampilanku secara keseluruhan. Hehe. Makanya, aku selalu mengikat rambutku atau membuatnya menjadi konde kecil. Soal dandanan, aku nggak neko-neko. Lebih sering tampil apa adanya, dan amat jarang menggunakan make-up. Walaupun aku yakin teman-teman sekantor sudah gatal untuk meng-make over penampilanku, tapi selalu tidak pernah kesampaian.
Aku itu sebetulnya nggak nuntut macam-macam kok. Selama dia baik, pengertian sayang dan cinta sama aku, itu sudah cukup. Tapi aku percaya banget sama yang namanya cinta pada pandangan pertama, dan selama ini aku belum menemukan perasaan itu pada pria-pria yang sudah aku temui. Pokoknya kata perasaanku, kalau klop, pasti nempel.
Lagian ngapain juga cepat-cepat settle, wong hidup masih perlu untuk dinikmati. Sering nggak kebayang kalo suatu saat aku menikah, punya anak, menyusui, masak, nunggu suami pulang.
Hmm…, kapan yah kesampaian.
Hush, kok jadi curhat gini! Daripada capek mikir, mendingan nikmatin aja yang ada sekarang. Kebetulan aku juga lumayan workoholic, jadi masih banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Kebetulan suasana kantor juga mendukung.
Tapi yah, inilah aku. Seorang wanita lajang yang beberapa bulan lagi akan merayakan ulang tahunnya yang ke 28, dengan lamunan mengenai sang pangeran nan gagah berani, sambil masih menggigit kecil-kecil biskuit kesukaannya dan ...

‘Mar, kamu tidak makan siang?’, seru wanita paruh baya secara tiba-tiba dari ujung bilik kerjaku.
‘Ini makan siang saya bu’, gumamku terkaget-kaget seraya secara refleks menunjukkan biskuit Regal di genggamanku yang tinggal separuh.
‘Bagus, kalau begitu saya bisa minta waktu lebih kamu. Bagaimana hasil sketsanya, sudah kamu terima belum dari tim kreatif?’, tanyanya dengan tenang.
‘Belum bu, sejam lagi sketsanya baru siap untuk presentasi.’, seruku yang masih berusaha menyadarkan diri dari lamunan.
‘Hey, siang bolong gini ngelamun. Tolong langsung segera diserahkan ke meja saya dalam map biru untuk kita bicarakan bersama sebelum kamu bawa ke klien’, serunya pelan, namun tetap terdengar berwibawa.
‘Sekarang komprehensifnya sedang diproses’.
‘Bagus. Saya mau semuanya tepat waktu kali ini. Ini proyek besar, dan hampir saja kita melewati tenggat waktu yang ditawarkan. Jangan kecewakan saya, okay. Oh ya, jangan lupa untuk membawa surat kontraknya. Saya mau membacanya sekali lagi’, serunya tenang seraya tersenyum kecil sambil membetulkan kacamata Fendi favorit yang berpadu pas dan trendi dengan dandanan khas etniknya.
‘Sebagai pengingat, kita ada presentasi dengan klien nanti jam 3, okay?’.
‘Siap bos’.
‘By the way Mar, di mulut dan bajumu banyak remah-remah tuh. Ntar banyak burung yang matok-kin loh’, tawanya kecil sambil menunjuk dada dan mulutku dan berlalu.
Serta merta aku bersihkan sisa remah-remah biskuit di baju dan mulutku.

Yap, itulah bosku, ibu Natasya Purwabhakti Pertiwi MM, M.Sn. Head officer yang selalu terlihat bersemangat dengan berbagai macam kesibukan. Padahal kalau dipikir-pikir, dia masih terlihat muda dan enerjik untuk wanita seusianya. Berpesta ria tiap minggu bersama kerabat serta klien di berbagai club, mengerjakan bertumpuk-tumpuk assignment dan proyek yang tak kunjung henti, mengikuti belasan arisan tiap bulan, melanjutkan kuliah S3 finansial dan sekarang tengah mengerjakan disertasinya, tapi masih bisa menyempatkan diri untuk makan malam bersama suami di berbagai restoran bintang lima, punya dua anak berprestasi lulusan universitas luar nagri ternama semacam Harvard dan UCLA, bisa bermain dengan cucunya, de es be.
Hebatnya lagi, dia tidak pernah kelihatan lelah, apalagi bete di depan karyawannya. Oleh karena itu dimata kolega kerja dan para karyawan, termasuk aku, dia bak ibu bagi kami semua. Dia tidak pernah terlihat memberi jarak, malahan kita-kita yang sungkan jadinya. Ck…ck, dia memang seorang role model, cantik luar dalam. Kegigihannya itu selalu membuatku terpana. Satu hal lagi, dia paling suka dipanggil bos, yang katanya sih, untuk mencairkan suasana kantor yang sering kali kaku.
Oh ya, sangkin keenakannya ngelamun dan menjelaskan panjang lebar tentang bosku, aku sampai lupa memperkenalkan diri.
Namaku Mari Sulistyo.
Bukan Marry, Merry, Meri ataupun Maria. M-A-R-I. Seperti lagunya tante Titiek Puspa, yang ‘Mari’-lah Kemari, karakter komik jepang tempo dulu yang jago balet, Mari-chan, serta telenovela Mari Mar. Dan bukan seperti Marie Regal (cemilan wajibku pas makan siang), karena disitu masih ada huruf ‘e’-nya. Yah, aku cukup senang dengan namaku yang Mari saja. Malah dengar-dengar, aku sempat mau diberi nama ‘lemari’ (karena kata pamanku, waktu melahirkan ibuku ngebayangin mengeluarkan lemari dari rahimnya dan menyebut ‘lemari’ terus menerus). Untungnya ibuku masih punya akal sehat dan terpilihlah namaku yang sekarang. Daripada lemari, jauh lebih mendingan ‘Mari’ (salah-salah aku bisa dipanggil lemur). Tapi aku lebih senang dipanggil Mar biar gampang diingat (atau dilupakan, hehe…).
Sedangkan nama Sulistyo aku dapat dari nama belakang mendiang ayahku, Bambang Herwibawanto Sulistyo. Kalau ingat ayahku, pasti ingat suaranya yang menggelegar dan senyumnya yang selalu tersembunyi di balik kumis lebatnya. Jadi rindu sama ayah. Ayahku meninggal waktu aku baru masuk kuliah. Sejak itulah aku kerja kesana-kemari sembari kuliah. Mulai dari kasir restoran, waitress, freelance designer, tukang sablon kaos sampai jadi music director radio amatir dekat kampus, semuanya aku jalani. Jadi boleh dibilang pengalaman kerjaku cukup banyak, walaupun lebih sering di belakang layar. Ini aku lakukan untuk menambah uang jajan tiap bulannya, sekaligus tabungan. Karena aku suka sekali dengan buku dan film. Inilah yang mungkin mempertemukan aku dengan tiga teman sejatiku hingga sekarang, minus satu temanku yang sudah mangkat sebelum kami lulus semua.
Aku tinggal bersama ibuku yang masih terlihat funky di usianya yang hampir kepala enam. Dulu seorang penyanyi yang cukup terkenal di daerahnya, Palembang untuk tepatnya. Selama ayahku dinas di Sumatra selama 5 tahun, kami sekeluarga diajak tinggal bersama disana. Waktu itu aku belum ada, jadi ibu masih bisa lenggang kangkung di panggung hiburan. Jujur saja, kalau misalnya dia melanjutkan kariernya, terlepas dari memiliki aku, mungkin dia bisa jadi salah satu penyanyi legendaris Indonesia. Karena suaranya merupakan gabungan suara Diana Ross dengan Karen Carpenter. Pokoknya bagus lah. Nama panggungnya Dian, tapi nama aslinya Diana Puspa Lestari. Tapi semenjak tidak menyanyi lagi, dia lebih memilih untuk membuka katering dan jasa pembuatan gaun serta jas. Cukup banyak loh pelanggannya. Dan aku sangat bangga dengan ibuku itu.
Satu lagi penghuni tetap rumahku yang sekarang adalah om Heru, paman dari sisi ibu. Adik ibuku yang satu ini memang pesolek. Sama seperti ibuku, dulu dialah trendsetter di daerahnya. Pernah menjadi model salah satu majalah remaja pada masanya. Malah pernah jadi model iklan shampo, walaupun yang diambil cuma cut rambut dan tangannya saja. Percaya atau tidak, walaupun termasuk pria yang tampan, sampai sekarang dia masih melajang. Malah setia banget ngebantuin kakaknya, khususnya dalam urusan mendesain gaun. Tapi di mataku, mereka berdua seperti sepasang mantan artis yang masih sibuk dengan api sisa masa-masa kejayaan mereka dulu. Dengan bertambahnya usia, terkadang aku merasa mungkin dalam waktu dekat, aku ingin bisa lebih mandiri dan membantu mereka, bukannya malah merepotkan mereka.
Sekarang aku bekerja di salah satu agensi periklanan dan grafis ternama dibilangan selatan Jakarta, dan tengah menjabat sebagai Account Executive. Dengan backgroundku sebagai mahasiswa lulusan Desain Komunikasi Visual dan S2 Marketing, sketsa-sketsa proyek, pertemuan dengan calon klien, negosiasi, presentasi, semuanya menjadi santapanku tiap hari. Melelahkan, tapi aku menikmati tiap detiknya. Semuanya aku bawa enjoy aja. Dan entah mengapa, aku lumayan menyukai jabatanku yang sekarang, hingga rasanya aku tidak terlalu bernafsu untuk mengejar promosi yang sering ditawarkan bu Natasya kepadaku.
Trrrt, trrrt, trrrt, trrrt
Oh ya, reminder ponselku. Ada apaan yah nanti sore? Moga-moga bukan makan malam bareng cowok-cowok pilihan ibuku. Seperti teman-temanku juga, ibuku turut ambil andil dalam menjodohkan aku. Selama 3 tahun terakhir ini aku sudah dikenalkan dengan lusinan cowok-cowok berbagai tipe dan bentuk. Tapi seperti yang aku bilang di awal tadi, semuanya nggak ada yang klop. Andaikata aku puzzle, nah cowok itu harus jadi bagianku yang hilang. Aku kadang bingung, yang mau nikah itu ibuku atau aku. Habis, dianya yang sering kelabakan sendiri.
Tertulis ‘green tea time 5.30 p.m.’ di reminder-ku. Ya ampun! Hari ini khan waktunya ketemuan dengan teman-teman kuliah. Teman-teman paling dekatku. Karena cuma kita berempat yang sering kumpul bareng setiap bulannya. Nanti aku ceritakan siapa saja mereka pas kita sudah ketemu mereka. Okay. Sekarang kita…

‘Mar, berkas-berkasnya’.

Oh ya, pesanan bu Natasha. Bisa gawat kalau belum aku serahkan sekarang.
Buru-buru kirim sms buat yang lain ah, supaya pada ingat. Ih, jadi gak sabar ketemuan sama yang lain. Sekalian catat nanti ada rapat dengan klien jam 3 di kantornya.
Oh ya, pesanan bu Natasaha!

* * *

‘Gimana tadi rapatnya mbak Mar, sukses’, seru Ira dari bilik kerjanya dengan riang. Itulah Ira dengan suaranya yang melengking tinggi, mengimbangi tubuhnya yang kutilang (kurus tinggi langsing).
‘Lumayan lah, akhirnya kita menang pitching juga, malahan mau diperpanjang kontraknya untuk buat lima iklan lagi. Dan mau tahu berapa lama tayangnya?’.
‘Berapa lama mbak?’, serunya antusias.
‘Satu tahun sih, tapi lumayan loh’.
‘Berarti nanti bonusnya pasti banyak khan? Jangan lupa ntraktir kita-kita loh mbak’, katanya centil sambil memainkan pena Parker hitam dan mengedipkan matanya.
‘Nyantai aja, nanti sekalian ajak Nina dan Maydin kalo semuanya lagi gak sibuk. Biar ramean. Ntar aku kabarin lagi deh, okay’.
‘Mbak Mar, tadi siang nyesel banget loh tidak ikut makan siang bareng kita’.
‘Emang ada apaan, ada menu burung unta guling di kantin mak Ijah?’, tukasku ogah-ogahan sambil merapikan berkas-berkas dan sketsa di meja.
‘Nggak lah mbak. Lebih hebat lagi! Ada cowok ganteng banget, mirip Brad Pitt. Denger-denger pegawai baru. Kalau aku nggak kawin sama mas Suwito, pasti tak caplok lanang(laki) itu. Tapi cocok banget loh kalau bareng mbak.’, serunya kenes sambil tertawa kecil karena dia paling tahu, aku nggak tahan kalo dia sudah mulai menjodoh-jodohkan aku.
‘Ra, khan seminggu ini aku sedang sibuk dengan proyeknya bu Natasha, trus aku memang jarang makan siang. Terakhir kamu bilang ada cowok mirip Orlando Bloom, pas ketemuan malah mirip Charlie Chaplin. Gilingan!? Dan yang paling penting, kamu tahu Ra?’.
‘Apaan mbak?’.
‘Aku paling males kalau kalian nyomblangin aku. Khan sudah terbukti hasilnya 98% berantakkan semua’.
‘2%-nya?’.
‘Satunya sudah beristri, sudah beranak lima lagi. Yang satunya gay!’, tukasku bete.
‘Okey-key, jangan sewot gitu dong mbak Mar. Tapi jangan lupa ntraktir kita-kita kalau mbak jadian loh. Apalagi kalau sudah siap pasang janur kuning sama tenda birunya’, serunya kenes sambil berlalu dengan cepat.
‘Ra’, teriakku tiba-tiba.
‘Ya mbak?’, teriaknya dari ke jauhan kaget.
‘Pokoknya kali ini, jangan bawa cowok yang aneh-aneh. Janji…!’, teriakku lagi.
‘Janji’. Terdengar suaranya semakin menjauh dan mengecil.

Itulah Ira, salah satu teman kantorku yang paling gencar nyomblangi aku dengan banyak cowok. Nina dan Maydin juga salah satu antek-anteknya yang sama kerasnya berusaha menjodohkan aku. Tapi mereka bertigalah yang selalu menemaniku selama suka dan duka di kantor.
Ira dan Nina, walaupun usia mereka lebih muda beberapa tahun dari aku, merekalah bukti nyata wanita karier yang mampu memiliki keluarga yang bahagia. Sedangkan Maydin, juniorku, sering kali jadi cheerleader untuk mereka berdua. Terkadang aku senang, karena setidaknya mereka bertiga berusaha untuk kepentinganku juga. Dan itu sering membuatku terharu.
Yah, akhirnya semua selesai. Meeting selesai, pitching sukses, sketsa tepat dikumpulkan sebelum jatuh tempo, presentasi dapat acungan jempol. Pokoknya hari ini semuanya sukses…ses…ses! Senangnya, setelah seminggu penuh akhirnya ketemu titik terang juga. At least, aku nanti bisa minta cuti beberapa hari sama bu Natasha.
Okay, kantor sudah sepi, selain para designer yang lebih sering bergadang disini, semuanya sudah pulang. Lampu kantorpun sudah dimatikan, sebagai salah satu bentuk penghematan katanya. Daripada kepanasan gara-gara AC sudah dimatikan, lebih baik aku siap-siap.
Baju sudah siap. Jas peach formal Roly Poly-ku sepadan dengan rok pinknya. Kemeja putih garis-garis di dalamnya cocok. Parfum Lacoste sudah kusemprotkan. Sepatu Prada lancip warisan ibu agak kotor nih ujungnya. Mana tissu?!? Ludahin sedikit, yap! Bersih! Penampilanku, pas banget.
Sekarang barang-barang, jangan ada yang sampai ketinggalan. Aku lihat dulu list barangku hari ini. Mana yah memo-ku, oh ini dia.
Tas, check.
Ponsel, check.
Dompet, check.
Laptop, check.
iPod, check.
Earphone, check.
Kunci Mobil, check.
Album Joni Mitchell titipan om Heru, check.
Kacamata, hey, tunggu dulu. Mana kacamataku?!? Coba aku cari di laci dulu. Hmm…, nggak ada. Di tong sampah. Cuma ada bekas bungkus biskuit.
Kok tidak ada yah. Aku tidak pernah beranjak dari mejaku, selain ke kantor bu Natasha dan ke kantor klien. Nggak mungkin ketinggalan di kantor klien khan. Tadi pas pulang di mobil bu Natasha aku sempat ngelap lensanya kok. Aduh, bisa berabe nih. Ini cuma kotaknya. Masak beli lagi. Ini sudah keempat kalinya dalam tahun ini. Aku ini memang pelupa berat, jadi semua barang yang aku bawa setiap hari harus aku tulis dalam memo kecilku ini, sedangkan daftar event atau meeting aku taruh di reminder ponsel. Yah, terpaksa ke optik lagi deh. Padahal khan nggak murah. Framenya saja Dior. Pakai uang bonus komisi proyek lalu. Huff ... Terpaksa berburam-buram ria selama beberapa jam nanti.
Ya ampun, sudah 16.20. Harus cepat-cepat nih biar nggak terlambat. Untung kantorku dekat dengan tujuan. Naik busway aja ah, biar nanti minta Ken saja nganter aku balik pas malamnya.
Berarti yang belum dibawa, mobil. Catat di memo.

* * *

Kamis, 03 Maret 2011

Working Title - TEA

yes, i've been bragging to some of my close friend that i used to write novel, already on its page 66, but all of sudden writer's block strike (well, im doing my final project, back in the 07. Nothing too dramatic bout it). Ive done writing the story frame, but, i've changed (A LOT) in this past few years. I lose the feel, the essence, the emotion of my story.

So now, to encourage myself to continue it, here's the prologue. A short one, before i start to publish the first chapter. Enjoy.


Prolog

Sore itu semuanya tampak seperti biasa. Udara di sekitar Dago Pakar memang sangat sejuk untuk dinikmati. Sudah kedua kalinya kami melakukan ritual ini, dan memang lumayan untuk melepaskan penat setelah mengerjakan bertumpuk-tumpuk tugas kuliah yang serasa tidak ada habis-habisnya. Jadi yah, boleh lah…

Sebetulnya sih ini ide Michael.

Michael Anugrah, sobat, teman, kekasih hati, belahan jiwa serta pemersatu kami berempat. Mangkat enam bulan setelah ia merekatkan kami. Hingga sekarang tidak ada yang tahu apa penyebab kematiannya, sebab tidak ada yang berhasil menemukan jenasah Michael. Ia menghilang saat mendaki gunung Kilimanjaro bersama lima anggota tim pecinta alam yang dibinanya. Setelah berbulan-bulan tidak terdengar kabarnya, secara resmi Michael dianggap meninggal. Padahal, diantara kami berlima, dialah yang paling humoris, jenaka, atau mungkin kelewat iseng. Kepergiannya merupakan hal yang paling berat untuk kami semua. Terutama Ken, karena Michael adalah sahabat terdekatnya.

Dia jugalah yang pertama kali mengajak Deana untuk pergi ke tempat Ken, salah satu teman yang aku idolakan semasa kuliah dulu. Untungnya Deana, dengan amat sangat memaksa dan penuh ancaman, mengajak aku.

Nama ‘Green Tea Club’ merupakan idenya, dan ia juga yang mengharuskan kami setidaknya minum teh hijau bersama setiap sabtu sore di kediaman Ken, sambil menceritakan apa saja yang telah kami lewati selama seminggu sebelumnya. Ada-ada saja ide si Michael. Tapi memang ada benarnya pepatah sembari berenang minum air. Gak ada salahnya minum-minum teh, tukar pikiran, sambil melototi wajah Ken yang tampan. Hingga akhirnya semua berlalu dan menjadi suatu kebiasaan.

Oh kangennya…

NOKIA N8 SCRIPT COMPETITION - Gener8



yes, i've wrote some script for Nokia N8 - Gener8 script competition. its quite a surprise for me, coz i never thought that i'll cut into the final 8. It start with a sunny (yet cloudy) sunday. Im all alone in my home, watching television, until suddenly i change my channel randomly into MetroTV's Showbuzz. Yes, when im heard Joko Anwar's name, all of sudden i like, zap! Is he making a new flick? Yes indeed, he made a short movie for the latest Nokia N series, starring Fahri Albar and Marsha Timothy (his fave couple, period?). But when i heard that they'll make a contest out of it, i was like, pow! Here's my chance to do something out my regular activity (going to college, taking the class, dating, eating, farting?!). So, within 2 days, i plotting the frame, and do the writing. but, the silly thing is, when they told us to write a scene at least 1 minutes more or less (that showed by how many pages that had been written), i've made a 14 minutes long.

The first script (the long one), is written based on an alternate reality that our character had been through. you see, im not making an ending, im putting too many weird twist, which is my cup of tea. The second script is made when im told to cut of many scene. yes, im cutting it into 4 pages long (which is equal 4 minutes) but hey!! its still too long. So i've made it based on one features that attarct me the most, the music side of it. The OVI Music.

So, my final ending doesn't reflect my first intention (which is horrifiyingly too long), but its still gonna be my baby, and its the first time i jumped into so called, movie production. Though its just take a few hour to take my so called scene, but the producing experience with Joko Anwar and team just gives me a lil insight about the industry that i've been loving for. The movie making industry, a harsh, hard world. Well, i didn't make it as the winner, but when you can see your dream shaping its form, damn! That's the best thing that ever happen to me (and of course, the magnifique Nokia N8. Gosh it take sharp pictures, and im still amazed! At least for now.).

So, would you like to make movies with me? (not the 'video mirip artis' kind, a real cinematique one. teehee)

Selasa, 22 Februari 2011

shriek..

Perpetuating the live
of a very important insignificant
proposing to eliminate
the tendecy of dreaming

are we really living here
where all of the graveyards risen
subdue to the infinite
deus ex machina, evoking the thrill

cultivate the light
embracing the fright
aren't we laughing to
the life that were shrinking on

Minggu, 30 Januari 2011

Pardon...

Dear All

i won't erase any of my negative post about my life, my family, my past colleague, my friends, my point of view, and probably you. i won't regret to what that had been written here. i know im not as stable as many others. But i must admit, some of you have just witnessing someone's milestone, someone's fears and hopes. You've just read me, here.

so pardon me if its gonna leave a bitter after-read, but i can assure you, this life is never been sweeter without a pinch of misery and a handfull of positivity (with a ton of mysteries and possibilities).

Sincerely,
J.G. Pratama